Muslim Prancis Tuduh Macron Pecah Belah Masyarakat
![]() |
ILUSTRASI: (Foto file - Anadolu Agency) |
Aktivis HAM menyebut pernyataan Macron sebagai lelucon, menuding presiden mengecualikan warga negara Muslim
sukabumiNews.net, ANKARA – Umat Muslim di Prancis mengatakan Presiden Emmanuel Macron telah memecah belah negara dengan pernyataan kontroversial tentang Islam yang telah berulang kali dia lontarkan dalam beberapa pekan terakhir.
Dikutip sukabumiNews dari laman aa.com.tr/id, di tengah ketegangan antara pemerintah dan Muslim Prancis, Macron pada Senin (26/10/2020) mengunggah foto di Twitter dan menuliskan kalimat "Kita adalah satu".
Yasser Louati, kepala
Komite Keadilan dan Kebebasan untuk Semua, menyebut pernyataan itu sebagai
lelucon dan menuding presiden mengecualikan warga negara Muslim.
"Bagaimana kita
bisa beralih dari Prancis yang dirayakan oleh dunia Muslim atau Arab karena
penolakannya untuk bergabung dengan Amerika dalam menghancurkan Irak pada tahun
2003 ke Prancis hari ini yang diboikot di bawah Emmanuel Macron?" kata Louati
dalam sebuah wawancara dengan Anadolu Agency.
Dia menambahkan bahwa
Macron kurang memahami kebijakan luar negeri.
"Arogansi dia
tidak hanya memecah belah penduduk Prancis tapi juga membawa mereka ke dalam
krisis," tambah aktivis HAM itu.
Farid Hafez, seorang ilmuwan
politik dan dosen di Universitas Salzburg Austria, menggambarkan langkah Macron
sebagai manifestasi diskriminasi berdasarkan hukum.
"Macron
mengikuti strateginya untuk menciptakan identitas Muslim Prancis yang
pertama-tama tidak terlihat dan kedua tidak berbahaya secara politik, tidak
mempertanyakan status quo kebijakan diskriminatif Prancis terhadap populasi
Muslimnya," ungkap dia.
Pada 2 Oktober,
Macron mengumumkan rencana kontroversial untuk mengatasi apa yang disebutnya
separatisme Islam di Prancis, mengklaim bahwa agama Islam berada dalam krisis
di seluruh dunia dan berjanji untuk membebaskan Islam di Prancis dari pengaruh
asing.
Minggu lalu, dia
membela kartun yang menghujat Nabi Muhammad dan setelah pembunuhan brutal guru
sekolah menengah Samuel Paty, yang menunjukkan karikatur provokatif itu di
kelas kelasnya.
BACA Juga: Penggemar sepak bola “Israel” upload lagu-lagu berisi penghinaan kepada Nabi Muhammad di YouTube
Macron bersaing di
jalur yang sama dengan sayap kanan
Warga Prancis akan
memilih presiden dalam waktu kurang dari dua tahun pada April 2022.
Namun, hasil survei
saat ini menunjukkan Macron bersaing ketat dengan Marine Le Pen, pemimpin Reli
Nasional sayap kanan.
Banyak yang percaya
strategi Macron untuk memenangkan pemilu berikutnya adalah dengan mengkooptasi
argumen sayap kanan.
Menurut Enes
Bayrakli, seorang peneliti di Yayasan Riset Politik, Ekonomi dan Sosial (SETA)
yang berbasis di Ankara, Turki, Macron sedang mencoba untuk mengatasi
kesengsaraan kebijakan dalam dan luar negeribya dengan mengkambinghitamkan
Islam dan Muslim.
"Macron mencoba
menghentikan kebangkitan sayap kanan dengan mengadopsi pernyataan ekstrim
mereka," ujar dia.
Setuju dengan
pendapat Bayrakili, Louati mengatakan Macron tidak memiliki hal lain untuk
ditunjukkan dalam pencalonannya yang akan datang karena dia telah gagal secara
sosial dan ekonomi, merujuk pada gerakan Rompi Kuning dan demonstrasi protes
lainnya.
“Dia tidak punya
apa-apa untuk ditunjukkan kepada kami selain dari politik identitas. Jadi pada
dasarnya yang dia katakan adalah, saya tidak bisa memberi Anda masa depan yang
cerah. Saya hanya bisa menjanjikan perang melawan Muslim," tambah dia.
Tanda-tanda gelombang
teror Islamofobia
Bayrakli, yang juga
salah satu editor European Islamophobia Report, mengatakan bahwa situasi Muslim
di Eropa sedang memburuk.
“Saya melihat
tanda-tanda gelombang teror Islamofobia di Eropa,” kata dia kepada Anadolu
Agency, mengutip munculnya jaringan sayap kanan di seluruh penjuru benua.
Beberapa tahun
terakhir telah terjadi lonjakan serangan teroris sayap kanan di negara-negara
Barat.
Menurut Indeks
Terorisme Global 2019, serangan sayap kanan membengkak 320 persen selama lima
tahun terakhir di Amerika Utara, Eropa Barat dan Oseania.
Pada 22 Juli 2011,
teroris sayap kanan Norwegia Anders Breivik membunuh delapan orang dalam
pemboman di Oslo dan menembak mati 69 lainnya di sebuah kamp pemuda di pulau
Utoya.
Pada 15 Maret 2019,
Brenton Tarrant, seorang supremasi kulit putih Australia, membunuh 51 Muslim
yang sedang bersiap melaksanakan sholat Jumat di Christchurch, Selandia Baru.
Sementara itu, pada
19 Februari 2020, seorang ekstremis sayap kanan Jerman menyerang dua kafe Turki
di Kota Hanau, Jerman barat, menewaskan sembilan orang yang latar belakang
migran.
Permusuhan terhadap
Muslim di Prancis meningkat secara signifikan dalam beberapa pekan terakhir.
Minggu lalu, dua
wanita Muslim berjilbab ditikam berulang kali di taman di bawah Menara Eiffel,
di mana penyerang meneriakkan hinaan seperti "orang Arab kotor".
Bayrakli mengatakan
inilah yang diharapkan oleh kelompok teroris seperti Daesh/ISIS dari Eropa.
“Mereka ingin Eropa
memasuki gelombang kekerasan. Politisi Eropa juga masuk ke permainan ini karena
kalkulasi politik yang murah," ujar dia.
BACA Juga: Penggemar sepak bola “Israel” upload lagu-lagu berisi penghinaan kepada Nabi Muhammad di YouTube
Keheningan negara
anggota UE
Larangan mengenakan
jilbab, pakaian renang burkini, dan penyembelihan halal serta pembatasan masjid
di beberapa negara Eropa juga menuai kemarahan.
Namun, rencana Macron
untuk mengontrol pengaruh asing dari agama bukanlah hal baru bagi Eropa.
"Di Austria,
pendanaan imam dari luar negeri sudah dilarang dengan UU Islam 2015," kata
Hafez.
Macron, kata dia,
mengikuti dan mencoba untuk memaksakan tindakan diskriminatif yang sama hanya
terhadap Muslim, bukan orang dengan kepercayaan lain.
“Apa yang kita lihat
adalah intervensi agama oleh negara. Ini sebenarnya bertentangan dengan
sekularisme. Sebuah negara seharusnya tidak ikut campur dalam urusan internal
agama dan perdebatan teologis," kata Bayrakli.
Ditanya tentang
keheningan para pemimpin Eropa di tengah meningkatnya ketegangan di Prancis,
Yasser Louati menafsirkannya sebagai ketidaksetujuan terhadap kebijakan Macron.
Di sisi lain, Enes
Bayrakli justru menilai hal itu sebagai dukungan.
"Uni Eropa
bahkan menghindari penggunaan kata Islamofobia," ujar dia.
Menurut Bayrakli,
Islamofobia telah menjadi ideologi dominan di abad ke-21, sama seperti
penentangan terhadap komunisme selama Perang Dingin.
“Inilah mengapa ada
kebodohan dan kebungkaman politik,” tambah dia.
BACA Juga: Erdogan Serukan Warga Turki untuk Boikot Barang-Barang Prancis
Pewarta: Red.
Sumber: AA Com
Post a Comment
Anda boleh beropini dengan mengomantari Artikel di atas