Iustrasi: tadzkir, tahmid dan tasbih (net) |
Hamba yang Merasa Cukup Bersama Allah dan Dicukupi Allah
Dalam surat At-Talaq ayat 3 Allah SWT berfirman:
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ
عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ
ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
Hidup ini sebenarnya
akan berbahagia; tidak perlu merasakan tekanan, tidak perlu dipenuhi dengan
kekhawatiran, dan juga tidak perlu ngoyo. Cara untuk mendapatkan kebahagiaan
itu mudah, yaitu bertawakal kepada Allah Ta’ala sebelum berikhtiar, ketika
sedang berikhtiar, dan setelah berikhtiar. Penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1Saat
merencanakan/membuat planning, bertawakallah kepada Allah. Jangan sombong akan
kemampuan diri dan jangan mendahului Allah Ta’ala. Bersandarlah kepada Allah.
2Jalankan planning
dan bila dalam proses pelaksanaannya terdapat temuan-temuan baru, maka tetaplah
dalam koridor ketawakalan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahwa, yang
mengizinkan semua itu terjadi adalah Allah.
3Boleh menetapkan
target, tetapi tidak boleh melampaui keimanan kita terhadap kekuasaan Allah
Azza wa Jalla. Hasilnya tidak usah mendikte Allah; berapanya, bagaimana, dan
kapannya. Juga jangan mengeluh bila terasa begitu terlambat. Bersabarlah karena
Allah Swt sesungguhnya tidak pernah telat, hanya saja kita yang banyak
menuntut. Hal ini terbukti dengan tidak pernah terlambatnya matahari bersinar,
meski kita dalam keadaan malas bangun sekali pun.
Insyaallah, semuanya
akan menemui akhirnya, baik maupun buruk; semuanya adalah hasil yang Allah
kehendaki dan harus diterima.
Oleh karena,
sebenarnya hidup kita sudah lengkap manakala menjalaninya dengan tawakal.
Merasa cukup dengan adanya Allah Ta’ala. Merasa cukup dengan menerima apa pun
ketentuan yang Allah berikan. Tanpa merasa cukup ini, kita akan “belingsatan”,
sengsara, merasa gelisah, dan hidup dalam tekanan. Bayangkan saja, hanya untuk
membayar kredit mobil, maka banyak orang rela menggadaikan hidup untuk bekerja
under pressure, siang-malam, dan lembur tanpa kenal waktu. Lelah dan celaka
betul kehidupan seperti ini.
Maka, bersandarlah
kepada Allah dan rida terhadap apa yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Niscaya Allah cukupkan kebutuhannya. Tanpa pernlu merasa disakiti, dizalimi,
dan dibawah tekanan karena Allah- lah yang menjaga dan melengkapi kebutuhannya.
Ada seorang sahabat
dari Asja’ yang menjadi tawanan perang. Kemudian, ayah dari sahabat ini mengadu
kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, semua pasukan sudah pulang. Yang sakit
juga sudah terlihat luka-lukanya. Ya, Rasulullah, yang syahid pun sudah kami
kuburkan dan kami lihat pemakamannya. Namun, dimana anakku dimana ya
rasulullah. Rasulullah saw kemudian menyuruhnya bersabar. Buah dari
kesabarannya adalah anaknya kemudian pulang dalam kondisi baik-baik saja dan
membawa rampasan perang.” (Tafsir Al-Samarqandi jilid 3 halaman 461).
Jadi dari asbabun
nuzul ini, apapun situasi yang tengah kita hadapi, yang berada di luar
jangkauan kepala kita; jangan sampai membuat kita hilang kesabaran dan
berpersangka buruk pada Allah dan rasul-Nya. Jangan pula membuat skenario
sendiri. Mengira-ngira apa yang bisa diperbuat, tetapi lupa bahwa sejatinya,
pemilik segala keputusan yang akan berlaku di dunia ini hanyalah Allah Ta’ala.
Bersabarlah dan ingatkanlah diri untuk senantiasa merasa cukup dengan adanya
Allah dan ketetapan-Nya, dan perbanyaklah mengucapkan, “Hasbunallah wani’mal
wakil”.
Ingatlah hadits ini
untuk memperkuat ketawakalan:
“Andai saja kalian
bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah
akan memberikan rezeki seperti burung-burung; yang pergi di pagi hari dalam
keadaan perut yang kosong kemudian kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.”
(Riwayat Tirmidzi).
Mengapa Rasulullah
saw mengandaikan dengan burung? Karena burung adalah mahluk Allah yang hatinya
lembut. Maka, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam menyapa para
sahabat dan kaum mu’minin yang hatinya lembut agar senantiasa melihat bagaimana
burung-burung menyerahkan urusan mereka kepada Allah Azza wa Jalla.
Ada pun makna tawakal
menurut beberapa ulama, terkait dengan hadits ini adalah:
Menurut Al-Munawi
1Makna hadits ini
adalah burung yang pergi pagi dalam keadaan lapar kemudian pulang di sore hari
dalam keadaan kenyang adalah untuk memberi tahu kita bahwa yang membuat kita
memperoleh rezeki, sejatinya bukanlah ikhtiar yang kita lakukan. Namun, yang
menentukan rezeki adalah Sang Maha pemberi rezeki, Allah Robbul Izzati.
Tawakal juga bukan
menganggur dan bukan berarti santai. Akan tetapi, tetap harus menjalani usaha
untuk sebuah sebab. Burung-burung juga melakukan usaha dengan pergi pagi dan
pulang ketika sore. Namun, ketawakalan dari mahluk Allah inilah yang membuatnya
memiliki rezeki yang mencukupi kebutuhannya. Meski tanpa akal dan sumber daya
seperti yang dimiliki oleh manusia.
2Menurut tafsir
Jalalain, tawakal adalah barang siapa yang bertawakal kepada Allah dalam semua
urusannya, maka Allah akan mencukupinya dengan izin-Nya.
Namun demikian,
sekali lagi tawakal bukanlah tanpa usaha. Dan, usaha bukanlah satu-satunya
jalan untuk mendapatkan hasil akhir. Karena, kekuasaan Allah dan ketawakalan
kepada-Nya yang akan memberikan hasil terbaik untuk kita.
Sebuah kisah dari Abu
Hasan Umarbin Wasil Al-Ambari, kiranya memberi gambaran kepada kita. Seorang
yang bernama Sahlan bercerita bahwa dia masuk ke dalam sebuah kampung selama
tujuh hari tanpa bekal makanan dan minuman. Namun, setiap kali dia butuh makan
dan minum, semuanya selalu tersedia.
Kemudian beberapa
waktu setelahnya, dia kembali memasuki kampung tersebut. Kali ini agak berbeda.
Dia bertemu dengan seorang lelaki yang memberiku kantung uang dirham, tetapi
anehnya ketika dia berjalan dan merogoh kantongnya, ternyata sudah tidak ada
apa-apa. Sementara dia juga tidak mendapatkan makanan dan minuman yang biasanya
tersedia. Tubuhnya pun semakin lelah dan tidak ada sedikit pun makanan.
Tak lama terdengar
suara dari langit yang menyuruhnya untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam
kantong, niscaya rezekinya akan tersedia seperti biasa. Sahlan pun menyadari
bahwa sepertinya ia ditegur akan “ketawakalannya” pada uang dirham yang
diperolehnya. Saat itu, dia kemudian ingat bahwa di kantongnya masih ada dua
dirham. Maka, ia pun segera mengeluarkan dan menyedekahkannya. Barulah setelah
itu, nikmat makanan dan minuman yang biasa didapatkannya, tersedia kembali.
Dalam hidup,
sebenarnya peristiwa semacam itu seringkali terjadi. Namun, kita salah
bersandar. Ketika bekerja yang dikejar hanya uang atau, maka akan sangat lelah
kehidupan ini dan rezeki dalam bentuk lainnya yang selama ini kita dapatkan pun
menghilang.
3Menurut Ibnul Qoyyim
Al-Jauziyah, “Tawakal adalah sebab yang paling kuat bagi seorang hamba untuk
menghadapi sesuatu yang berada di luar kemampuannya seperti bahaya, permusuhan.
Orang yang sudah dicukupi dan dikindung Allah maka tidak ada bahaya yang
mengancamnya kecuali apa yang bahaya yang biasa.”
4Sementara, menurut
Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar jilid 10 halaman 7467, “Dia yang bertawakal
kepada Allah dengan menyerah sebulat hati, yakin bahwa Allah tidak akan mengecewakannya;
pendirian yang seperti itu membuat dia tidak pernah berputus asa terhadap
rahmat Allah. Pengalaman manusia berkali-kali, hidup adalah pergantian antara
susah dengan senang. Karena keyakinan yang demian teguh, maka pintu yang
tertutup bagi orang lain maka bagi orang yang bertakwa menjadi terbuka.
Perbendaharaan orang yang betawakal tidak akan dibiarkan Tuhan menjadi kering.
Ketika dekat akan kering, datang saja bantuan baru yang tidak disangka-sangka.”
Inilah pentingnya
bertawakal kepada Allah. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla
terhadap apa pun yang akan terjadi, setelah berusaha sepenuh daya; dan merasa
cukup bersama dengan apa yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Sikap ini akan
membuat seseorang menyadari bahwa hidup sejatinya adalah permainan, pergantian
antara susah dan senang yang harus disikapi dengan tawakal.
Bukan pada ikhtiar,
fokus seorang muslim mengupayakan kebutuhan yang ada dalam kehidupan. Karena,
sejatinya kemampuan yang digunakan pun adalah perbendaharaan Allah yang
dipinjamkan kepadanya. Namun, tambatan terkuatnya adalah bagaimana rida
terhadap apa pun yang Allah berikan kepadanya. Baik atau burukkah, kurang atau
sesuai dengan ekspektasikah, tepat waktu atau harus bersabarkah; semuanya
adalah hal terbaik yang Allah berikan dan kita merasa cukup dengan itu semua.
“Ya Allah,
sesungguhnya hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mulah aku beriman,
hanyalah kepada-Mu-lah aku bertawakal. Hanya kepada-Mu aku kembali, hanya
karena-Mu, aku memusuhi musuh-musuhmu. Ya, Allah sesungguhnya aku hanya
berlindung kepada keagungan-Mu.” Laa haula walaa quwwata ilaabillahil aliyul
adziim. []
KH Bachtiar Nasir, Pimpinan AQL Islamic Center.